Syekh
Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar
al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Muhammad
Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada
tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan
nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam
Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam
di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap
tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk
memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.Ayah beliau bernama Syekh
Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Syekh
Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana
Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy).
Nasabnya
bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad
al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.Pada usia
15 tahun, Syekh Nawawi mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan
ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa
dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun
belajar di Mekkah beliau kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu
keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayah beliau mengajar para
santri.Syekh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung
mendapat simpati dari masyarakat. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina
ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok.
Namun hanya beberapa tahun kemudian beliau memutuskan berangkat lagi ke Mekkah
sesuai dengan impian beliau untuk mukim dan menetap di sana.Di Mekkah Syekh
Nawawi melanjutkan belajar pada guru-guru yang terkenal, pertama kali beliau
mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat
Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal
Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati,
Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, Syekh Nawawi
belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian beliau melanjutkan
pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut
penuturan Abdul Jabbar bahwa Syekh Nawawi juga pemah melakukan perjalanan
menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir
seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.Setelah memutuskan untuk
memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya beliau menimba ilmu
lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Syekh
Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup
memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, beliau tercatat sebagai
Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena beliau harus
banyak menulis kitab.
Inisiatif
menulis banyak datang dari desakan sebagian kolegan beliau yang meminta untuk
menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabat beliau
yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah
asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karya Syekh Nawawi yang sering
ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar
adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang
populer dan dianggap sulit dipahami orang awam.Alasan menulis syarh selain
karena permintaan orang lain, Syekh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan
karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama
besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka.
Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak
ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya
cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan
Syiria.Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah
dipahami dan padat isinya ini, nama Syekh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori
salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat
gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn al-RaM’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq
wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.Kesibukannya dalam
menulis membuat Syekh Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak
jarang untuk mengajar para pemula beliau sering mendelegasikan siswa-siswa
seniornya untuk membantu beliau. Cara ini kelak ditiru sebagai metode
pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula
dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar
langsung pada Syekh, agar proses pembelajaran dengan Syekh tidak mengalami
kesulitan.
Bidang
TeologiKarya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat
dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang
tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua
bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya
satu kitab. Dari banyaknya karya yang beliau tulis ini dapat dijadikan bukti
bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang menulis produktif multidisiplin, beliau
banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan
Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh
pemikirannya secara konprehenshif-utuh.Dalam beberapa tulisannya seringkali
Syekh Nawawi mengaku sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya:Fath
ai-MajidTijan al-DurariNur al Dzulamal-Futuhat al-Madaniyahal-Tsumar
al-YaniahBahjat al-WasailKasyifat as-Suja danMirqat al-Su’ud.Sejalan dengan
prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syekh Nawawi
mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur
al-Maturidi.Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan
konsep sifat-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki
sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah
perbuatanNya. Beliau membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil
dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil
tidak adanya, dan sifat mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada
Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan
tidak ada pada Allah.Meskipun Syekh Nawawi bukan orang pertama yang membahas
konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang
berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di
negeri ini.Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurut beliau harus
digunakan bersama-sama, teta pi terkadang bila terjadi pertentangan di antara
keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala
hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat
diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun
diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih
pemahamannya dalam benak akal pikirannya.Tema yang perlu diketahui di sini
adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog
Asy’ary lainnya, Syekh Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang
berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan
Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau mengakui
Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah
yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada
Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan
apa-apa.Untuk hal ini dalam konteks Indonesia, sebenamya Syekh Nawawi telah
berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang
teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme
Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan
modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak
dapat menggugah perlawanan kolonialisme.Padahal fenomena kolonialisme pada
waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan
teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut
terkena. Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asyariyah dalam kadar tertentu
sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah
tawakkal kepada Allah.Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam
disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak
terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Syekh Nawawi
dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para
muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan
Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non
muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai
oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada
mereka.Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan
sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya
fiqh beliau seperti:Syarh Safinat a/-Naja,Syarh Sullam a/-Taufiq,Nihayat
a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in danTasyrih a/a Fathul Qaribsehingga Syekh
Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Dan atas
dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis
beliau mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan.Hasil tulisannya yang
sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan
tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas
al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di
suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundang karena nama Syekh
Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di
Mesir.
Sufi
BrilianSejauh itu dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan aktivitas
intelektualnya mencerminkan beliau bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu
agama. Dalam bidang ini beliau memiliki konsep yang identik dengan tasawuf.
Dari karyanya saja Syekh Nawawi menunjukkan diri beliau seorang sufi brilian, beliau
banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan
standar bagi seorang sufi.Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada
3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu:Misbah
al-Zulam,Qami’ al-Thugyan danSalalim al Fudala.Di sana Nawawi banyak sekali
merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan
penting bagi setiap tarekat. Pandangan tasawuf beliau meski tidak tergantung
pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal
Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat. Namun atas pilihan karir dan
pengembangan spesialisasi ilmu pengetahuan yg ditekuni serta tuntutan
masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru-guru
beliau.Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangan beliau terhadap
keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk
memahami lebih mudah dari keterkaitan ini, Syekh Nawawi mengibaratkan syariat
dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam
lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses
pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan
(ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat dan ma’rifat adalah hasil dari
syariat dan tarikat.Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak
menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan
hal-hal yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Paparan konsep
tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman
spiritualitas ulama salaf. Tema-tema yang beliau gunakan tidak jauh dari
rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi
harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Syekh Nawawi dapat
dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah
Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.Tidak seperti sufi
Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik
Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan
syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan
antara fiqh dan tasawuf. Beliau lebih Ghazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam
hal ini.Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Syekh Nawawi bagai
seorang sosok al-Ghazali di era modern. Beliau lihai dalam mengurai kebekuan
dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangan beliau
tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh
dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai
derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr,
muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.Seorang Abid diharapkan
tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi
juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf
berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa
penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya
seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan
terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya
pembinaan etika atau moral (Adab).Selain itu ciri yang menonjol dari sikap
kesufian Syekh Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat
ketika beliau diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang
menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat
yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini
bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat
yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten
1888. Namun secara hati-hati Syekh Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis
tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Syekh Nawawi tahu bahwa di satu
sisi beliau memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia
spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan
politik.Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang
dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian
Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren
mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den
Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl
al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis
tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas
dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi
Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh
Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh
dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919
M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.Sebenarnya karya-karya Syekh
Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di
Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan
Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan
Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina
Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut
Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di
Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional.Selain itu
Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di
Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor
dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin
Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok
Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya
Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan
penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih
dipelajari di sana.Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya
yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di
antaranya adalah karya Syekh Nawawi.Penyebaran karya Syekh Nawawi tidak lepas
dari peran murid-murid beliau. Di Indonesia murid-murid Syekh Nawawi termasuk tokoh-tokoh
nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga
dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari
Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil
dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan
putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk,
Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah
bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang
Banten, K.H Ilyas dari kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H
Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus
Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat.
Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.Penelitian Zamakhsyari Dhofir
mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi
yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di
Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut
mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah
sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di
sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari
jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual
pesantren, Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh
Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan
Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh
terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran
gurunya.Karya-karya Syekh Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak
lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Syekh Nawawi
terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan
kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan
reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan,
K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid
karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf.Meskipun
beliau senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir,
Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela
ulama klasik beliau tidak mau mengajarkannya pada santri dan lebih senang
memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Syekh Nawawi lainnya berjasa di daerah
asalnya, Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa
dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi.Begitu juga dengan Syekh
Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan
nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, Syekh Ageng
menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri
geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat
penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama.
Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir
kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren
setelah tafsir Jalalain.Peranan Syekh, para pemimpin pondok pesantren dalam
memperkenalkan karya Syekh Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai
pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam.
Para Syekh didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan
karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Syekh Nawawi.Dalam
bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa Syekh Nawawi banyak
mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi
wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran
ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana
sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks
di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi
lain.Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai
dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali,
telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik
beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.
No comments:
Post a Comment